Selasa, 15 Desember 2015

Tak Pernah Bosan di Bandung, Menikmati Bunga dan Gunung

nuniek harun musawa
Bersama Budhe Maryam Musawa dan Pakdhe Ali Shahab di Kawah Putih, Ciwidey, Kab. Bandung
Tiap kali ke Bandung, Budhe Nuniek hampir selalu menyempatkan menyusuri jalanan Parongpong -sering disebut juga Parompong- untuk wisata bunga. Parongpong adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Biasanya kita akan melewati jalan ini saat ingin ke Lembang, yang juga berada di kabupaten yang sama. Kebetulan Parongpong hanya sekitar 20 menit dari kediaman Budhe di Kota Bandung yakni Cipaku Indah, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap.  

nuniek harun musawa
Bersama Budhe Maryam Musawa di Parongpong, Kab. Bandung Barat
Sepanjang jalan, di kanan kiri berjajar rumah penduduk yang berjualan tanaman. Warga menata dagangannya begitu cantik. Biasanya rumah mereka agak menjorok ke belakang, pekarangan depan penuh tanaman. Beragam bunga cantik yang hanya bisa tumbuh sempurna di daerah berhawa dingin, ada di sini. Sebut saja bunga Terompet, bunga Kertas, bunga Matahari, Wijaya Kusuma, Tapak Dara, Begonia, Azalea, dan lainnya. Ada semua di Parongpong, dan cantik-cantik deh!

Harganya tergolong murah jika kita membeli yang masih kecil-kecil. Misalnya tanaman bunga Matahari ukuran sedang, bisa kita dapatkan dengan harga Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu saja. Tanah di kawasan ini, terutama Lembang, juga dikenal subur. Banyak yang membeli untuk dipakai bercocok tanam di kota lain, seperti Jakarta atau Bogor.

Belanja tanaman di sini sangat seru, tapi kita harus mau repot mengupayakan parkir mobil yang tidak menghalangi jalan. Tidak semua kios memiliki pekarangan untuk parkir. Kalau pas berhenti di kios yang tidak ada parkir, berarti mobil harus di tepi jalan. Sementara jalan di Parongpong tidak terlalu lebar. Jalan dua arah yang masing-masing untuk satu jalur saja.

Karena parkir yang sulit itu, rasanya ingin jalan kaki saja untuk pindah dari kios satu ke yang lain. Tapi sayangnya, tidak ada trotoar. Andai saja pemerintah membangun pedestrian di kanan kiri, alangkah nyamannya. Wisatawan bisa menikmati keluar masuk kios, atau sekedar cuci mata berwisata bunga saja sudah bikin hepi deh!

"Warga di sini sudah menata sendiri kawasannya dengan kios-kios mereka, sampai menjadi pusat wisata bunga yang sangat cantik ini. Nah tinggal pemerintah seharusnya menyiapkan fasilitas pendukung yaitu trotoar yang lebar agar wisatawan bisa jalan di sini nyaman dan belanja," kata Budhe. 

Well, semoga pemkab setempat do something ya! Tapi soal kondisi jalan, sudah jauh lebih baik dibanding beberapa waktu lalu. Aspalnya cukup mulus dan nyaman dilalui.

Kawah Putih
nuniek harun musawa
Bersama suami tercinta, Harun Musawa, di Kawah Putih, Ciwidey, Kab. Bandung
Kalau masih ada waktu luang lagi di Bandung, biasanya Budhe jalan lebih jauh sedikit, yakni ke Bandung Selatan, sebuah wilayah di Kabupaten Bandung yang punya beberapa objek wisata alam. Destinasi favoritnya antara lainCiwidey dan Rancabali. Kecamatan Ciwidey dikenal dengan Kawah Putih. Konon terbentuk dari letusan Gunung Patuha pada abad ke X. Menyusuri jalan yang menanjak menuju lokasi kawah, dengan jurang-jurang begitu dalam di kanan kiri, Budhe sambil membayangkan bagaimana penemunya, Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, berjalan kaki atau mungkin naik kuda saat mencari tahu tentang kawasan ini. Hebat betul ya Mr. Junghuhn itu! *respect

nuniek harun musawa
Bersama Budhe Maryam Musawa di Saung Kecapi, pelataran objek wisata Kawah Putih, Ciwidey, Kab. Bandung

nuniek harun musawa
Bersama Pakdhe Harun Musawa, Budhe Maryam Musawa dan Pakdhe Ali Shahab di Situ Patengan, Rancabali, Kab. Bandung
Tea Plantation Rancabali
Sejenak menikmati Kawah Putih -aturannya maksimal 15 menit agar tidak menghirup belerang terlalu lama- Budhe paling suka melanjutkan perjalanan menuju Situ Patengan. Letaknya di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali. Sekitar 20-30 menit dari Kawah Putih. Tapi bukan Situ Patengan-nya yang Budhe incar. Melainkan perjalanan dari Kawah Putih menuju Patengan itu, kita akan melewati perkebunan teh di Rancabali.

Sepanjang jalan, di kanan kiri terhampar perkebunan teh yang begitu luaaas dan indaaah. "Kebun terlihat seperti permadani yang terbentang luas begitu cantik," ujar Budhe. Perkebunan di sini di antaranya milik pabrik Teh Walini.

Sedangkan di Situ Patengan, yang menarik justru kisah di balik di danau itu. Dari cerita Budhe, ada legenda yang menceritakan bahwa danau yang indah itu adalah tempat berdiamnya Dewi Rengganis. Sang Dewi telah menjelma menjadi ikan Silayung yang bentuknya sangat cantik

Overall, memang tak pernah bosan menikmati Bandung....

Budhe Nuniek di salah satu sudut rumahnya di Cipaku Indah, Bandung

Minggu, 06 Desember 2015

Tepong, Mercy dan AQ Tinggi

Kadang kita ingin melakukan sesuatu tapi tidak mampu. Atau tidak mendapat kesempatan. Lalu berkata pada diri sendiri, “Lihat saja, suatu saat aku pasti bisa.” Dan ketika tercapai, reaksi kita menggelikan saking senangnya.

Foto sebagai ilustrasi. Dokumentasi kitchen.desibantu.com
Budhe Nuniek menyebut keadaan itu dengan istilah complex. Kondisi tidak dapat melakukan sesuatu yang diinginkan, karena tidak mendapat kesempatan. Ketidakmampuan ini memunculkan tekad bahwa suatu saat pasti bisa, bahkan lebih.

Complex dalam hal ini tidak negatif lho. Karena bukan merasa rendah diri yang mengarah ke putus asa. Tapi justru mendorong kita untuk berjuang.

Salah satu complex yang dialami Budhe Nuniek adalah, ketika tidak bisa membeli makanan yang ia inginkan karena uangnya tak cukup. Budhe mengalami masa kecil dan remaja di tahun 1950 – 1960an. Masa yang amat sulit di negeri ini bagi rakyat biasa. Ayahnya guru, ibunya pedagang di Pasar Klewer, Solo. Penghasilan harus dikelola cermat untuk sepuluh anak.

Budhe kecil –usia SD jelang SMP- sering ke sebuah warung nasi liwet di kampungnya, Tipes, Solo. Di sana dijual beragam lauk lezat. Zaman itu, beli tepong sudah amat mewah. Tepong adalah paha ayam bagian atas yang masih menyatu dengan paha bawah. Hanya sesekali Budhe bisa membelinya. Mampunya ya beli nasi liwet saja tanpa tambahan lauk. Tepong-tepong tampak lezat hanya bisa dipandangnya. Bibir ingin mengucap, “Yu’, tepong ya.” Tapi ucapan dikendalikan uang di tangan.

Lebih complex lagi kalau pas berbarengan tetangga lain yang bisa beli tepong. “Lihat saja, suatu saat pasti aku bisa (beli tepong banyak!),” batin Budhe. Bukan iri pada tetangga itu. Bukan pula marah pada keadaan. Tapi yang dirasakan adalah keyakinan, bahwa suatu saat juga akan bisa mengalami seperti –tetangga- itu, yakni beli tepong.

Keyakinannya tidak meleset. Tak bisa menyelesaikan kuliah, Budhe meninggalkan Solo pada 1972, tinggal di Jakarta dan meraih sukses. Ia menjadi Kepala Bagian Iklan Majalah Femina hingga 1986, kemudian mendirikan Majalah Mode dan Aneka Yess! (1990-2014).

Lucunya, Budhe pernah lho melampiaskan keinginannya memborong tepong di warung itu. Puluhan tahun setelah rasa complex di masa kecilnya itu, Budhe berlibur di Solo dan khusus meluangkan waktu ke warung itu. Diborong deh itu tepong. “Yu’ beli tepong, ati ampela, telur, sama ini, itu (segala lauk disebut).” Pokoknya Budhe memuaskan keinginan bibirnya mengucap beli tepong di warung itu.

Sampai di hotel, suaminya bingung. Nasi liwet penuh lauk semua. “Jadi bingung makannya… kebanyakan lauk, hahaha…,” cerita Budhe.

Sepeda dan Mercedes-Benz

Contoh complex lain adalah soal bersepeda. Dari kecil hingga remaja, Budhe ke mana-mana naik sepeda. Sebagai anak tertua dari sepuluh bersaudara, dengan adik nomor dua, tiga, empat, lima hingga enam yang semuanya laki-laki, Budhe punya banyak tugas rumah tangga membantu ibu. Mulai dari belanja ke pasar, bersih-bersih rumah, hingga memasak untuk seisi rumah.

Saat kelas 2 SMA, Budhe memilih jurusan Budaya yang masuk siang. Sebetulnya nilainya cukup untuk masuk jurusan IPA maupun IPS, tapi ia memang lebih suka budaya. Ditambah, sekolah siang berarti pagi harinya masih punya waktu untuk belanja dan mengurus rumah.

Nah, kegiatan belanja pagi itu seru! Ia harus bersepeda di jalanan kota Surakata yang kadang panas terik. Mengeluh? Sama sekali tidak. Budhe tipikal yang sangat menikmati segala tugas dengan riang. Soal panas ia atasi dengan mengenakan topi lebar ala di pantai. Buatnya, justru itu jadi fashion style.
Foto sebagai ilustrasi. Dokumentasi thinkstockphotos.com.au
Sepedanya dilengkapi keranjang di depan. Hasil belanjaan ia tata cantik. Stylish dengan topi lebarnya, dan keranjang tampak chic dengan juntaian sayuran. Pokoknya mejeng! Hahaha….

“Ditugasi belanja naik sepeda itu seneng. Sayuran saya tata cantik di keranjang. Yang hijau-hijau saya keluarin sedikit, saya juntaikan sampai keluar keranjang. Jadi dilihat cantik doong. Terus saya pakai topi pantai yang lebar itu. Gaya deh, hahaha…,” cerita Budhe.

Ke sekolah, ke Pasar Klewer tempat ibunya berdagang tekstil, atau ke manapun ya lebih sering naik sepeda. Budhe harus bersepeda membelah Kota Surakarta tiap ingin berenang. Kolam renang Tirtomoyo ada di Jebres yakni di timur utara. Sedangkan rumahnya, Kampung Tipes, terletakdi ujung barat selatan. Jadi tiap ingin berenang, berjuang mengayuh sepeda dari ujung ke ujung.

Nah, puluhan tahun setelah masa itu, setelah Budhe meraih sukses dan mampu membeli mobil, complex ia lampiaskan dengan mengendarai Mercedes-Benz atau BMW seri 7 miliknya di ruas-ruas jalan yang dulu rutin ia lalui dengan bersepeda.

“Sengaja nyetir Mercy, atau BMW, di Solo sambil mengenang, ‘Dulu gue selalu lewat jalan ini naik sepeda, sekarang gue bisa ngebut pakai mobil, hahaha….” Terlebih memiliki Mercy dan BMW memang cita-citanya. Syukurlah Budhe sempat memiliki beberapa unit dalam satu waktu. “Kalau Lamborghini memang nggak pengen, karena (rasanya seperti) ndlosor, hahaha,” ujarnya,

Complex bisa jadi motivasi kuat meraih sukses. Bukan sekedar iri nggak jelas atau merasa berhak tanpa perjuangan. Tapi karena ada complex, maka ada tujuan spesifik yang ingin kita capai. Untuk sampai pada suatu titik di mana kita bisa melampiaskan complex, daya juang kita harus tinggi.

Adversity Quotient

Soal daya juang ini sangat erat dengan Adversity Quotient atau AQ, faktor kesuksesan yang dirumuskan Paul G. Stoltz pada 1997. Dalam edukasi.kompas.com Februari 2013 ditulis, AQ menunjukkan kapasitas seseorang dalam menghadapi tekanan atau ketidaknyamanan. Disebut juga ketahanmalangan, atau kecerdasan menghadapi kesulitan.

Orang dengan AQ tinggi dapat segera kembali bangkit setelah gagal. Mengubah hambatan menjadi peluang. Sebaliknya, orang dengan AQ rendah selalu menyalahkan lingkungan ketika gagal, sehingga tidak dapat mengambil keputusan menuju sukses.

Menurut saya, AQ Budhe Nuniek sangat tinggi. Ia selalu cerdas menghadapi masalah. Dari hal yang kecil saja. Misalnya, mengayuh sepeda dengan keranjang penuh hasil belanjaan setiap hari, ia lihat sebagai peluang mejeng. Kesibukan membantu orang tua juga bukan jadi alasan sekolahnya keteteran. Prestasi di sekolah tetap gemilang.

Tepong dan sepeda merupakan contoh kecil. Complex lebih besar dialaminya saat awal terjun ke dunia kerja pertengahan 1970-an. Pada masa itu, mungkin juga sampai sekarang, tenaga pemasar iklan di institusi media cetak seolah warga kasta kelas 2. Kasta tertinggi dimiliki wartawan. Tim redaksi selalu merasa mereka lah motor perusahaan. Karena mereka lah sebuah media cetak berwibawa, oplaag besar dan mendulang iklan.

Wartawan juga yang selalu berkesempatan ke luar negeri. Budhe tentu tidak bisa iri, sebab meliput acara di luar negeri jelas bukan tugas karyawan divisi iklan. Tapi sebagai yang selalu bermimpi bisa ke negara-negara maju, ada pikiran, “Lihat saja, suatu saat gue pasti dapat kesempatan.” Tekad itu sangat memotivasi.

Berkat ketekunan, daya juang tinggi, serta menjalankan tiap tugas penuh semangat dan mengerahkan seluruh kemampuan, Budhe diapresiasi. Menjabat Kepala Bagian Iklan Majalah Femina, ia kemudian cukup sering bertugas ke luar negeri. Salah satunya dikirim ke Tokyo untuk menjadi chaperone Putri Remaja Indonesia yang berkompetisi di ajang Miss Young International. Sebelumnya, Femina adalah penyelenggara pemilihan Putri Remaja Indonesia di Jakarta. Dalam perjalanan ke Jepang itu, ia juga menjalankan kerja jurnalistik yakni meliput, memotret dan menuliskan liputan acaranya di majalah.

Ada rasa puas luar biasa bisa membuktikan pada diri sendiri, “Gue memang bukan wartawan, tapi dikirim ke luar negeri dan juga menjalankan tugas sebagai wartawan, lho!” Tak cukup itu, Budhe bahkan menjabat Pemimpin Redaksi di Majalah Aneka Yess! yang didirikannya. Tapi bukan seenaknya menempati posisi di majalah yang didirikannya sendiri, lho. Di era Orde Baru, seseorang tidak bisa begitu saja menjadi pemred media seperti era sekarang. Saat itu Budhe mengikuti prosedur termasuk menjalani pelatihan ketat di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Keberhasilan itu menurut saya karena ada unsur complex dalam diri Budhe, yang menjadi motivasi kuat. Ditambah tentunya, AQ Budhe sangat tinggi sejak kecil.

Masih dalam artikel yang sama di edukasi.kompas.com juga disebutkan, dunia pendidikan harus memanfaatkan AQ. Kapasitas untuk bisa menghadapi tekanan harus diajarkan dan dilatih sejak duduk di bangku sekolah. Belajar tidak cukup dengan pendekatan menyenangkan. Selebihnya, harus menantang agar siswa berlatih membangun AQ-nya. Karena hidup identik dengan tantangan.

Motivator Pemuda, Vivid Fitri Argarini sudah sejak beberapa tahun lalu mendengungkan pentingnya AQ. Dalam wawancaranya dengan detik.com April 2015 (link artikel) ia menjelaskan, “Ada lagi satu kecerdasan yang sangat penting selain emosional, spiritual, dan intelegensi, yaitu kecerdasan daya juang (adversity quotient). Kalau kita sudah bisa konsisten dalam menjalani suatu hal, tapi tidak ada daya juang dari dalam diri, itu akan susah. Karena motivasi itu sebetulnya ada di dalam diri sendiri," jelas Vivid yang merupakan putri pertama Budhe Nuniek ini.