Foto sebagai ilustrasi. Dokumentasi kitchen.desibantu.com |
Budhe
Nuniek menyebut keadaan itu dengan istilah complex.
Kondisi tidak dapat melakukan sesuatu yang diinginkan, karena tidak mendapat
kesempatan. Ketidakmampuan ini memunculkan tekad bahwa suatu saat pasti bisa,
bahkan lebih.
Complex dalam hal ini tidak negatif lho.
Karena bukan merasa rendah diri yang mengarah ke putus asa. Tapi justru
mendorong kita untuk berjuang.
Salah
satu complex yang dialami Budhe
Nuniek adalah, ketika tidak bisa membeli makanan yang ia inginkan karena
uangnya tak cukup. Budhe mengalami masa kecil dan remaja di tahun 1950 –
1960an. Masa yang amat sulit di negeri ini bagi rakyat biasa. Ayahnya guru,
ibunya pedagang di Pasar Klewer, Solo. Penghasilan harus dikelola cermat untuk
sepuluh anak.
Budhe
kecil –usia SD jelang SMP- sering ke sebuah warung nasi liwet di kampungnya,
Tipes, Solo. Di sana dijual beragam lauk lezat. Zaman itu,
beli tepong sudah amat mewah. Tepong
adalah paha ayam bagian atas yang masih menyatu dengan paha bawah. Hanya
sesekali Budhe bisa membelinya. Mampunya ya beli nasi liwet saja tanpa tambahan
lauk. Tepong-tepong tampak lezat hanya bisa dipandangnya. Bibir ingin mengucap,
“Yu’, tepong ya.” Tapi ucapan
dikendalikan uang di tangan.
Lebih
complex lagi kalau pas berbarengan tetangga
lain yang bisa beli tepong. “Lihat
saja, suatu saat pasti aku bisa (beli tepong
banyak!),” batin Budhe. Bukan iri pada tetangga itu. Bukan pula marah pada
keadaan. Tapi yang dirasakan adalah keyakinan, bahwa suatu saat juga akan bisa
mengalami seperti –tetangga- itu, yakni beli tepong.
Keyakinannya
tidak meleset. Tak bisa menyelesaikan kuliah, Budhe meninggalkan Solo pada
1972, tinggal di Jakarta dan meraih sukses. Ia menjadi Kepala Bagian Iklan
Majalah Femina hingga 1986, kemudian
mendirikan Majalah Mode dan Aneka Yess! (1990-2014).
Lucunya,
Budhe pernah lho melampiaskan keinginannya memborong tepong di warung itu. Puluhan tahun setelah rasa complex di masa kecilnya itu, Budhe berlibur
di Solo dan khusus meluangkan waktu ke warung itu. Diborong deh itu tepong. “Yu’ beli tepong, ati
ampela, telur, sama ini, itu (segala lauk disebut).” Pokoknya Budhe memuaskan
keinginan bibirnya mengucap beli tepong
di warung itu.
Sampai
di hotel, suaminya bingung. Nasi liwet penuh lauk
semua. “Jadi bingung makannya… kebanyakan lauk, hahaha…,” cerita Budhe.
Sepeda dan Mercedes-Benz
Contoh
complex lain adalah soal bersepeda.
Dari kecil hingga remaja, Budhe ke mana-mana naik sepeda. Sebagai anak tertua dari sepuluh bersaudara,
dengan adik nomor dua, tiga, empat, lima hingga enam yang semuanya laki-laki,
Budhe punya banyak tugas rumah tangga membantu ibu. Mulai dari belanja ke
pasar, bersih-bersih rumah, hingga memasak untuk seisi rumah.
Saat
kelas 2 SMA, Budhe memilih jurusan Budaya yang masuk siang. Sebetulnya nilainya
cukup untuk masuk jurusan IPA maupun IPS, tapi ia memang lebih suka budaya.
Ditambah, sekolah siang berarti pagi harinya masih punya waktu untuk belanja
dan mengurus rumah.
Nah,
kegiatan belanja pagi itu seru! Ia harus bersepeda di jalanan kota
Surakata yang kadang panas terik. Mengeluh? Sama sekali tidak. Budhe tipikal yang
sangat menikmati segala tugas dengan riang. Soal panas ia atasi dengan
mengenakan topi lebar ala di pantai. Buatnya, justru itu jadi fashion style.
Foto sebagai ilustrasi. Dokumentasi thinkstockphotos.com.au |
Sepedanya dilengkapi
keranjang di depan. Hasil belanjaan ia tata cantik. Stylish dengan topi
lebarnya, dan keranjang tampak chic
dengan juntaian sayuran. Pokoknya mejeng! Hahaha….
“Ditugasi
belanja naik sepeda itu seneng. Sayuran saya tata cantik di keranjang. Yang
hijau-hijau saya keluarin sedikit, saya juntaikan sampai keluar keranjang. Jadi
dilihat cantik doong. Terus saya pakai topi pantai yang lebar itu. Gaya deh,
hahaha…,” cerita Budhe.
Ke
sekolah, ke Pasar Klewer tempat ibunya berdagang tekstil, atau ke manapun ya lebih
sering naik sepeda. Budhe harus bersepeda membelah Kota Surakarta tiap ingin
berenang. Kolam renang Tirtomoyo ada di Jebres yakni di timur utara. Sedangkan
rumahnya, Kampung Tipes, terletakdi ujung barat selatan. Jadi tiap ingin
berenang, berjuang mengayuh sepeda dari ujung ke ujung.
Nah,
puluhan tahun setelah masa itu, setelah Budhe meraih sukses dan mampu membeli
mobil, complex ia lampiaskan dengan
mengendarai Mercedes-Benz atau BMW seri 7 miliknya di ruas-ruas jalan yang dulu
rutin ia lalui dengan bersepeda.
“Sengaja
nyetir Mercy, atau BMW, di Solo sambil mengenang, ‘Dulu gue selalu lewat jalan
ini naik sepeda, sekarang gue bisa ngebut pakai mobil, hahaha….” Terlebih
memiliki Mercy dan BMW memang cita-citanya. Syukurlah Budhe sempat
memiliki beberapa unit dalam satu waktu. “Kalau Lamborghini memang nggak pengen,
karena (rasanya seperti) ndlosor,
hahaha,” ujarnya,
Complex bisa jadi motivasi kuat meraih
sukses. Bukan sekedar iri nggak jelas atau merasa berhak tanpa perjuangan. Tapi
karena ada complex, maka ada tujuan
spesifik yang ingin kita capai. Untuk sampai pada suatu titik di mana kita bisa
melampiaskan complex, daya juang kita
harus tinggi.
Adversity Quotient
Soal
daya juang ini sangat erat dengan Adversity Quotient atau AQ, faktor kesuksesan
yang dirumuskan Paul G. Stoltz pada 1997. Dalam edukasi.kompas.com Februari
2013 ditulis, AQ menunjukkan kapasitas seseorang dalam menghadapi tekanan atau
ketidaknyamanan. Disebut juga ketahanmalangan, atau kecerdasan menghadapi
kesulitan.
Orang
dengan AQ tinggi dapat segera kembali bangkit setelah gagal.
Mengubah hambatan menjadi peluang. Sebaliknya, orang dengan AQ rendah selalu
menyalahkan lingkungan ketika gagal, sehingga tidak dapat mengambil keputusan
menuju sukses.
Menurut
saya, AQ Budhe Nuniek sangat tinggi. Ia selalu cerdas menghadapi
masalah. Dari hal yang kecil saja. Misalnya, mengayuh sepeda dengan keranjang
penuh hasil belanjaan setiap hari, ia lihat sebagai peluang mejeng. Kesibukan
membantu orang tua juga bukan jadi alasan sekolahnya keteteran. Prestasi di
sekolah tetap gemilang.
Tepong dan sepeda merupakan contoh
kecil. Complex lebih besar dialaminya
saat awal terjun ke dunia kerja pertengahan 1970-an. Pada masa itu, mungkin
juga sampai sekarang, tenaga pemasar iklan di institusi media cetak seolah
warga kasta kelas 2. Kasta tertinggi dimiliki wartawan. Tim redaksi selalu
merasa mereka lah motor perusahaan. Karena mereka lah sebuah media cetak
berwibawa, oplaag besar dan mendulang iklan.
Wartawan
juga yang selalu berkesempatan ke luar negeri. Budhe tentu
tidak bisa iri, sebab meliput acara di luar negeri jelas bukan tugas karyawan divisi
iklan. Tapi sebagai yang selalu bermimpi bisa ke negara-negara maju,
ada pikiran, “Lihat saja, suatu saat gue pasti dapat kesempatan.” Tekad itu
sangat memotivasi.
Berkat
ketekunan, daya juang tinggi, serta menjalankan tiap tugas penuh
semangat dan mengerahkan seluruh kemampuan, Budhe diapresiasi. Menjabat Kepala Bagian Iklan Majalah Femina, ia kemudian cukup sering bertugas ke luar negeri. Salah
satunya dikirim ke Tokyo untuk menjadi chaperone Putri Remaja Indonesia yang
berkompetisi di ajang Miss Young International. Sebelumnya, Femina adalah penyelenggara pemilihan
Putri Remaja Indonesia di Jakarta. Dalam perjalanan ke Jepang itu, ia juga menjalankan
kerja jurnalistik yakni meliput, memotret dan menuliskan liputan acaranya di
majalah.
Ada rasa
puas luar biasa bisa membuktikan pada diri sendiri, “Gue memang bukan wartawan,
tapi dikirim ke luar negeri dan juga menjalankan tugas sebagai wartawan, lho!” Tak
cukup itu, Budhe bahkan menjabat Pemimpin Redaksi di Majalah Aneka Yess! yang didirikannya. Tapi
bukan seenaknya menempati posisi di majalah yang didirikannya sendiri, lho. Di
era Orde Baru, seseorang tidak bisa begitu saja menjadi pemred media seperti
era sekarang. Saat itu Budhe mengikuti prosedur termasuk menjalani pelatihan
ketat di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Keberhasilan
itu menurut saya karena ada unsur complex
dalam diri Budhe, yang menjadi motivasi kuat. Ditambah tentunya, AQ Budhe
sangat tinggi sejak kecil.
Masih
dalam artikel yang sama di edukasi.kompas.com juga disebutkan, dunia pendidikan
harus memanfaatkan AQ. Kapasitas untuk bisa menghadapi tekanan harus diajarkan
dan dilatih sejak duduk di bangku sekolah. Belajar tidak cukup dengan
pendekatan menyenangkan. Selebihnya, harus menantang agar siswa berlatih
membangun AQ-nya. Karena hidup identik dengan tantangan.
Motivator
Pemuda, Vivid Fitri Argarini sudah sejak beberapa tahun lalu mendengungkan
pentingnya AQ. Dalam wawancaranya dengan detik.com
April 2015 (link artikel) ia menjelaskan, “Ada lagi satu kecerdasan yang sangat
penting selain emosional, spiritual, dan intelegensi, yaitu kecerdasan daya
juang (adversity quotient). Kalau kita sudah bisa konsisten dalam menjalani
suatu hal, tapi tidak ada daya juang dari dalam diri, itu akan susah. Karena
motivasi itu sebetulnya ada di dalam diri sendiri," jelas Vivid yang
merupakan putri pertama Budhe Nuniek ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar