Rabu, 25 November 2015

Kumpul PKK RW Griya Wartawan di Rumah Cipinang

nuniek harun musawa

nuniek harun musawa

Rabu pagi (25/11/2015), rumah Budhe Nuniek di Kompleks PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Cipinang Muara yang aslinya sudah cantik dan asri, terlihat lebih fotogenik! Hari itu Budhe siap menyambut sekitar 50-an tamu ibu-ibu RW 09 Griya Wartawan ini.
nuniek harun musawa

nuniek harun musawa

Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK)  setempat mengadakan kegiatan advokasi untuk mengenal Demensia Alzheimer. Puluhan kursi sudah siap di pendopo, menghadap layar proyektor. Di sekitar pendopo telah ditata meja-meja dengan gelas-gelas cantik, mangkuk dan piring, untuk menyajikan minuman Fruit Punch, Asinan Bogor dan Rujak Parut. Untuk menu makan besarnya, panitia menghadirkan angkringan Soto Kudus Pioneer. Mantap!
nuniek harun musawa

Sekitar pukul 8.30 panitia mulai berdatangan, disusul para tamu. Acara ini bekerja sama dengan Laboratorium Klinik Prodia, yang mengenalkan layanannya sekaligus memberi informasi tentang Demensia Alzheimer. Mereka memberi materi bertema "Jangan Maklum dengan Pikun." Demensia Alzheimer dapat berdampak begitu besar, sehingga mengurangi kemampuan kita hidup mandiri," tutur narator dalam video yang diputar sebagai pengantar kegiatan advokasi. Maka para ibu diajak mengenal gejala serta cara pencegahan penyakit ini. Info lengkap tentang Demensia Alzheimer bisa diakses di alzheimerindonesia.org
nuniek harun musawa


nuniek harun musawa
Bersama panitia acara yakni pengurus PKK RW 09 Kompleks PWI

nuniek harun musawa
Usai pemaparan materi dan tanya jawab, acara semakin seru dengan pengundian doorprize, menyantap hidangan, diiringi solo keyboardist serta beberapa Ibu yang semangat ikut menyanyi. Happy!
nuniek harun musawa
Putri pertama Budhe Nuniek, motivator pemuda Vivid F. Argarini ikut menyanyi meramaikan acara :)

nuniek harun musawa
Budhe bersama Ibu Inna Hadad, tetangga yang juga kawan lama sejak di Femina Group
nuniek harun musawa

Minggu, 15 November 2015

Mengenang Senang dan Tragis di Tipes

nuniek harun musawa
Keluarga kakek-nenek Budhe Nuniek, yaitu pasangan  R. Nurdin Wiryosaputro dengan Raida Smith (putri Johan Nicholas Smith/Mbah Kanjeng) di rumah loji di Tipes, Kota Surakarta. Loji dengan pekarangan berhektare yang pada 1900an menjadi landmark Tipes. 
Tipes bukan nama penyakit akibat kecapekan dan kurang makan. Ini kampung halaman Budhe di Surakarta yang menyimpan banyak kisah senang dan pilu.

Budhe Nuniek sering bercerita tentang Tipes, kampung halamannya. Suatu daerah -kini merupakan kelurahan- di selatan barat Kota Surakarta. Namanya cukup aneh ya, Tipes. Konon diambil dari nama tanggul tak jauh dari situ, yakni di sepanjang Kali Jenes -sering juga disebut Jenis- yang terbentang dari Tipes di selatan barat Surakarta, Dawung-Demangan, Demangan-Sorogenen, hingga tepat sebelum kali itu bertemu Bengawan Solo. Tanggul itu dibangun pada masa kekuasaan Paku Buwono IX yaitu 1861–1893.

Kawasan Tipes pada masa dulu termasuk pinggiran. Tapi jika melihat sekarang dengan adanya Solo Baru yakni Kabupaten Sukoharjo, posisi Tipes menjadi tidak terlalu pinggir. Bisa dibilang tengah kota juga. Budhe mengagumi Surakarta sebagai kota baru -jika dibanding kota-kota tua di Eropa- yang penataannya mirip New York City. Ada dua jalan besar yang membentang dari barat ke timur, yakni Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Dr. Radjiman. Dua jalan itu kemudian dipotong-potong oleh beberapa ruas jalan dari utara ke selatan. Nah, terbentuklah blok-blok seperti di NYC, meski ya nggak secantik itu juga…

Jalan Dr. Radjiman sangat bersejarah. Tercatat, pecahnya Keraton Kartosuro pada 1745 membuat Sunan Paku Buwono II harus mencari lokasi baru untuk istana. Dipilih tempat baru di timur Surakarta, yakni Desa Sala. Inilah cikal bakal sebutan Kota Solo. Paku Buwono II dan seluruh abdi dalem berjalan kaki dari Keraton Kartosuro di barat, ke timur menyusuri Jalan Dr. Radjiman sepanjang 20 km, sampai di lokasi baru di tepi Bengawan Solo itu.

Kata Budhe, di antara rombongan yang berjalan itu mungkin salah satunya adalah leluhur dari Bapaknya, Goenadi Prodjomulyono. "Bapak adalah orang Surakarta asli, keturunan dari Keraton Surakarta," tutur Budhe.

Dilaluinya Jalan Dr. Radjiman sebagai rute kepindahan Pakubuwono II, membuat Belanda tak mau kalah. Mereka membangun tandingannya di utara, sejajar dengan Jalan Dr. Radjiman, yakni Jalan Slamet Riyadi yang kini menjadi jalan utama. Konon kabarnya, jalur itu dulunya adalah sungai, yang kemudian diurug oleh Belanda dijadikan jalan. Selain itu, pada 1779 Belanda juga membangun Benteng Vastenburg di utara Keraton Surakarta, tepatnya di samping Alun-alun. Dulu kabarnya, benteng yang semula bernama Grootmoedigheid itu didirikan untuk mengawasi aktivitas Keraton Surakarta sejak pemerintahan Paku Buwono III.

Bisa dibilang, saat itu adalah masa menancapnya bangunan-bangunan penting dan bersejarah di Solo. Termasuk Pura Mangkunegaran yang berdiri pada 1757. Perkampungan penduduk juga tumbuh sejalan dengan itu. Termasuk Tipes. Kelurahan Tipes kini luasnya sekitar 64 hektare, masuk dalam wilayah Kecamatan Serengan. Sudah sejak 1972 Budhe meninggalkan kampung itu, menetap di Jakarta hingga sekarang. Tapi hatinya tetap dekat dengan Tipes. Ada kebanggaan pada daerah ini sebab banyak kisah keluarga yang menyenangkan, dan ada pula cerita tragis.

Berburu di rumah

Budhe lahir di Tipes pada 1948. Letak rumahnya di jalan yang kini disebut Wijaya Kusuma. Puluhan tahun sebelumnya, kakek buyut Budhe dari ibu, Johan Nicholas Smith, sudah tinggal di kawasan itu. Sang buyut adalah pria berdarah Belanda, dipanggil anak keturunannya dengan sebutan Mbah Kanjeng. Oleh warga kampung disebut Kanjeng Tuan. Nenek buyut, Suwartinem -kerap dipanggil Mbah Ibu- adalah perempuan Jawa asli, anak pedagang sapi dari Boyolali.

Mbah Kanjeng tinggal di Tipes setelah sebelumnya menjabat sebagai Asisten Residen di Situbondo, Jawa Timur. Sejak pensiun, sang Kanjeng Londo ini memilih untuk mesanggrah di Solo. Konon ibu Mbah Kanjeng berasal dari kota ini.

“Pesanggrahan Mbah Kanjeng di Tipes sangat besar. Ada loji, dan sekitarnya tanah luas berhektare. Ada kandang kuda, pekarangan, kebun dengan pepohonan yang saking luasnya, bisa untuk berburu," cerita Budhe. Rumah itu terletak di pinggir sungai irigasi, yang kini disebut Jalan Bhayangkara. Mbah Kanjeng menatanya sedemikian rupa agar serasa tinggal di Eropa.

Bagi ibunda dari Budhe, Ibu Soelastri, rumah itu menyimpan banyak kenangan. Ibu Soelastri masih sangat kecil saat masa kehidupan Mbah Kanjeng di Tipes. Kanjeng Tuan hobi berburu di pekarangan lojinya yang luasnya berhektare. Dua kali seminggu mereka berburu. Biasanya tiap Rabu dan Sabtu. Mbah Kanjeng berkostum lengkap, bersama menantu dan penderek-pendereknya yang pribumi. Berburu sambil berkhayal seakan-akan menjadi ksatria di tanah Eropa. Soelastri kecil pun didandani ala lady Belanda yang hendak berkuda, menjadi penggembira kegiatan kakeknya.

Di masa itu, Tipes membanggakan dengan keberadaan kediaman Mbah Kanjeng yang megah. Loji yang berdiri di pekarangan luas seakan menjadi landmark. Sampai suatu hari, masa kejayaan itu berakhir. Saat Jepang masuk ke tanah Jawa, Mbah Kanjeng diinternir. Ketika sedang berada di Societeit Harmoni, klub orang-orang Belanda itu digerebek Jepang dan Mbah Kanjeng diculik begitu saja, diasingkan entah ke mana. Anak keturunannya tidak pernah melihatnya lagi hingga sekarang.

Sejak itu, berangsur-angsur tidak ada lagi rumah dengan pekarangan berhektare di Tipes. Mbah Ibu mengungsi agar tidak tertangkap sebagai istri keturunan Belanda. Harta bendanya diobrak-abrik, dijarah. Sebagian dijual. Kini loji Mbah Kanjeng masih berdiri tegak, namun tak lagi dengan pekarangan luas yang bisa untuk berburu. Melainkan dikelilingi kampung-kampung padat penduduk. Loji telah berganti kepemilikan dan saat ini digunakan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Terlihat untuk posko partai politik.

Cerita kejayaan itu hilang.

Emansipasi

Raida Smith, putri Mbah Kanjeng yang menurunkan Budhe, tetap tinggal di Tipes. Mereka mendapat rumah di Jalan Wijaya Kusuma, tak terlalu jauh dari loji Mbah Kanjeng dulu di JalanBhayangkara. Budhe Nuniek pun lahir di rumah itu. Mayoritas warga asli Tipes pada zaman Budhe kecil (1950-an) adalah pengusaha palen atau konveksi. Sebagian besar berdagang di Pasar Klewer, termasuk keluarga Budhe. Kampung Mbaron dan Kunden yang terletak di sebelah barat Tipes, kebanyakan juga pedagang konveksi.

Lebih ke barat lagi ada Laweyan, yang kini dikenal sebagai kampung batik. Sejak dulu memang kampungnya saudagar batik. "Dulu kebanyakan orang membeli kain di Laweyan, lalu menjahitkannya di Tipes," kata Budhe.

Perempuan-perempuan Solo, khususnya di kampung-kampung yang disebutkan tadi, sudah maju sejak dulu. Semua istri bekerja. Emansipasi dengan sendirinya tak terbicarakan. Sekalipun ibu rumah tangga pasti ada saja sambilan yang dikerjakan, biasanya jualan batik. Tidak ada istri yang hanya njagakke pemberian suami.

Tapi ada yang unik dari tipikal masyarakat Tipes. Pria yang sudah menikah biasanya tidak bekerja secara mandiri, melainkan membantu usaha istrinya. Misalnya kakek Budhe, R. Nurdin Wiryosaputro. Ia tidak bekerja sejak tinggal di Tipes. Sehari-hari ia bertugas mengendarai mobil Mbah Kanjeng, mengantar mertuanya itu bepergian. Padahal saat di Situbondo, sempat bekerja sebagai amtenar. 

"Begitu masuk komunitas Tipes, kayak sudah kena ‘airnya.’ Suami tidak bekerja itu biasa. Mereka mendorong usaha istri saja,” ujar Budhe.

Yang juga unik dari masyarakat Tipes, ada kepercayaan soal mencari jodoh. Orang asli Tipes harus menikah dengan warga kampung setempat. Kalau nyeleneh, kawinnya dengan kampung lain, entah kenapa pasti rumah tangganya kandas. “Dari saya kecil sampai besar, kulturnya orang Tipes ya menikahnya dengan situ- situ aja,” ucapnya.

Nah, untungnya keluarga Budhe termasuk pendatang. Ayahnya, Goenadi Prodjomulyono, berasal dari Kampung Nonongan, Kelurahan Kemlayan di Jalan Slamet Riyadi. Budhe menyebutnya Omah Lor, sebab letaknya di utara. Sedangkan rumah leluhur Ibunya yang ditinggalinya di Tipes berada di selatan. Jadi keluarga Budhe tidak tergolong Tipes asli yang harus mengikuti tradisi soal jodoh itu. Kalau termasuk, repot juga ya kalau jatuh cinta sama warga kampung/kota/negara lain, hehehe….

Sampai kini Budhe masih sesekali ke Tipes menengok rumah di Jalan Wijaya Kusuma, tempat ia dan sembilan adiknya tumbuh besar. Rumah itu kini dimiliki salah seorang adik Budhe, setelah saudara-saudara lainnya mendapat hak waris. Suasana kampung masih relatif sama seperti dulu. Meski sudah tidak lagi tinggal di sana, tujuh anak (tiga lainnya telah wafat) keluarga Goenadi Prodjomuljono dan Soelastri masih tetap dianggap tetangga setempat sebagai warga kampung.

Kenangan membanggakan dan menyedihkan itu tersimpan di Tipes.

Rabu, 11 November 2015

Antara Dieng dan Karlovy Vary

nuniek harun musawa dieng
Pemandangan dari Bukit Pandang Ratapan Angin
Begitu menginjakkan kaki di Dieng, Jawa Tengah Kamis (5/11/2015) lalu, Budhe Nuniek langsung teringat kota Karlovy Vary di Republik Ceko, yang dikunjunginya beberapa tahun lalu. Kedua tempat itu sama-sama memiliki landscape berupa cekungan yang dikelilingi bukit-bukit. 

Budhe Nuniek Harun Musawa lahir dan besar di Solo, Jawa Tengah, sekitar 180 km dari Dieng. Sejak tinggal di Jakarta pada 1972, ia masih sering bolak-balik ke Solo, juga Yogyakarta. Sebagai penyuka wisata alam, sudah lama sekali ia ingin mengunjungi kawasan Dataran Tinggi Dieng yang hanya berjarak 2,5 jam berkendara dari Yogyakarta. Maka ketika awal November ini kesempatan itu akhirnya datang, hepinya luar biasa!

nuniek harun musawa dieng
Budhe Nuniek bersama putrinya, motivator pemuda Vivid F. Argarini
Dieng terletak di ketinggian 2100 meter di atas permukaan laut. Wilayahnya masuk Kabupaten Banjarnegara, dan sebagian lagi Kabupaten Wonosobo. Menurut informasi di film pendek di Museum Kailasa, Desa Dieng Kulon, cekungan di Dieng Plateau ini berbentuk seperti buah alpukat. Begitu sampai di Dieng sekitar pukul 9 pagi itu, rasanya senang tapi juga sedikit kecewa. Ekspektasi Budhe, Dieng seharusnya bisa jauh lebih indah jika bangunan-bangunannya ditata cantik.


nuniek harun musawa dieng

Karlovy Vary dikenal sebagai kota spa, karena memiliki spring water dari sumber mata air panas yang kaya mineral. Letaknya di pinggir barat Ceko berbatasan dengan Jerman. Dari kota Praha bisa ditempuh dengan bus sekitar dua jam. Dilihat dari bukit, area cekungan kota Karlovy Vary tampak cantik dengan bangunan-bangunan yang tertata rapi. Bentuk bangunan seperti hotel, spa, rumah makan dan tempat tinggal penduduk lokal seperti sudah ada standarnya, sehingga kota tampak sangat indah. Jalan-jalan dibuat sangat nyaman, bersih, dan rumah-rumah makan tampak rapi.


nuniek harun musawa dieng

Dieng memiliki candi-candi, Kawah Sikidang, serta Telaga Warna yang sangat indah. Telaga dapat dilihat cukup jelas di antaranya dari Bukit Pandang Ratapan Angin. Dari tempat parkir mobil terdekat bukit ini, jalan kaki menuju puncak bukit itu hanya sekitar lima menit. Jalannya menanjak tajam seperti naik tangga yang curam. Dari atas, saat itu air Telaga Warna tampak berwarna hijau. Konon warnanya sering berubah-ubah menjadi kuning atau pelangi.


nuniek harun musawa dieng
Jalur naik ke Bukit Pandang Ratapan Angin
Dari Jalan Raya Dieng di mana terdapat sederet guest house (yang di sini banyak disebut homestay) serta warung-warung makan, untuk menuju ke candi, kawah dan telaga hanya nyaman dengan kendaraan pribadi. Lokasinya memang cukup jauh jika dengan berjalan kaki. Begitu pula jika ingin menyusuri jalan mencari toko-toko yang menjual Carica, buah khas Dieng yang telah mewujud menjadi berbagai rupa makanan antara lain manisan dan keripik. Tokonya cukup banyak dan berderet di Jalan Raya Dieng, namun jalur pejalan kaki sama sekali belum dibuat nyaman.


Yang paling disayangkan adalah deretan bangunan rumah yang kurang cantik. Tidak ada standar untuk bentuk bangunan di kawasan dengan bentangan alam yang begitu indah ini. Baik itu bangunan yang di Jalan Raya Dieng, maupun yang di bentangan tanah tak jauh dari komplek candi. Pemerintah daerah seperti sudah kalah duluan dengan masyarakat setempat. Kalau harus membebaskan lahan, tentu butuh biaya besar. Tanah dikuasai warga, dan mereka membangun tanpa ada standar. "Kenapa pemerintah kabupaten setempat tidak studi banding ke Karlovy Vary ya?" kata Budhe gemes. Jangan-jangan kalau ada program studi banding, perginya ke tempat-tempat yang tidak sebanding.

Di Karlovy Vary pengunjung bebas berjalan-jalan tanpa ada tiket masuk. Pemerintah mengutip pajak dari restoran dan hotel. Pajak ini dikelola untuk mewujudkan kota yang nyaman. Masyarakat lokal maupun wisatawan pun telah sadar bahwa mereka harus membayar pajak melalui tarif yang diberlakukan di hotel maupun restoran, sebab pemerintah mereka mengelola pungutan itu dengan baik, yaknik dikembalikan dalam wujud kota yang bersih, cantik dan layak.

nuniek harun musawa dieng
Cantiknya bunga terompet di Kebun Teh Tambi, salah satu alternatif jalan menuju Dieng dari Yogyakarta
Di Dieng, ada beberapa spot di mana pengunjung diminta tiket masuk. Antara lain memasuki kawasan Kawah Sikidang. Per orang Rp 10 ribu, yang disebutkan dapat untuk memasuki dua objek, yakni Kawah Sikidang dan Candi Arjuna. Di Museum Kailasa, siang itu tidak ada pengunjung. Budhe menuju pusat informasi, namun sayang tak ada brosur tentang museum sehelaipun. Petugasnya menjawab dengan enteng tanpa nada menyesal sama sekali, "brosur habis." Langsung deh Budhe ngedumel, "habis kok bangga." Hal yang tak mungkin terjadi di museum-museum di negara maju, misalnya Singapura.

Petugas menawari memutarkan film pendek tentang Dieng. Tentu Budhe tertarik. Usai menonton film buatan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan tahun 2007 itu serta berkeliling museum, Budhe menanyakan tarif tiket masuk. Disebutkan Rp 5 ribu per orang. Setelah membayar untuk tiga orang plus sengaja dilebihkan, rasanya tidak yakin uang itu akan dikelola dengan baik untuk 'dikembalikan' ke masyarakat dalam bentuk tempat yang lebih nyaman dan pemandangan yang lebih indah. 


nuniek harun musawa dieng
Museum Kailasa
Andai saja, pemerintah daerah serius dalam menata kenyamanan wisata di tiap wilayahnya. Pungutan dilakukan di titik yang tepat, misalnya lewat pajak hotel, restoran, dan transportasi lokal. Kemudian yang terpenting, hasil pungutan dikelola benar. Tidak dikorup. Betul-betul 'dikembalikan' dalam wujud membuat tempat wisata yang nyaman. Yang juga penting, perlu menyusun strategi untuk menata kawasan menjadi cantik. Meski kita tidak boleh lupa juga, landscape kawasan Borobudur dan Prambanan termasuk sudah dikelola dengan semangat yang sebagaimana mestinya.


Begitu banyak contoh di luar sana yang bisa dipelajari dengan mendatanginya langsung, atau bahkan bisa dengan hanya via internet. Andai saja.


Kota Karlovy Vary, Republik Ceko (Foto Dok www.savoywestend.cz

Selasa, 10 November 2015

Nuniek Harun Musawa Main Film "Surga Menanti"

nuniek harun musawa surga menanti
Budhe Nuniek sebagai Eyang Nuniek bersama putrinya, Vivid F. Argarini memerankan dr. Fitri
Budhe Nuniek Harun Musawa akan kembali tampil di layar lebar. Kamis (5/11) lalu, Budhe menjalani syuting film religi Surga Menanti produksi Khanza Film di Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Umi Pipik Diah Irawati 'Uje' dan Agus Kuncoro tampil sebagai bintang utama, bersama pendatang baru Syakir Daulay. 

Budhe Nuniek tampil sebagai bintang tamu memerankan Eyang Nuniek, ibu dari dr. Fitri yang diperankan putrinya, Vivid F. Argarini. Yap! Ibu dan anak bermain dalam satu film, juga sebagai ibu dan anak. Karakter Eyang Nuniek di sini sangat bijaksana dan intelek. Sebagai eyang, ia begitu menyayangi cucunya, Atsir (diperankan aktor cilik asal Bantul, Bowi), yang merupakan sahabat Dafa. Eyang Nuniek bangga pada Atsir yang sangat peduli pada sahabatnya yang sedang kesusahan. Kata Budhe, seru dan lucu juga rasanya setelah bertahun-tahun tidak bermain film, kini datang kesempatan muncul sekilas.
nuniek harun musawa surga menanti
Diarahkan sutradara, Hasto Broto
Surga Menanti disutradarai Hasto Broto, yang juga merangkap produser bersama Dyah Kalsitorini. Sebagai Produser Eksekutif, Agus Riyanto. Dyah telah lebih dulu aktif menulis skenario FTV dan sinetron, serta menerbitkan buku-buku fiksi remaja. Sebelumnya, ia merupakan jurnalis majalah remaja Aneka Yess!.

Film bukan dunia baru bagi Budhe. Debutnya sebagai aktris adalah menjadi bintang utama film Api di Bukit Menoreh (1971). Saat itu usianya baru 23 tahun, dan berhasil mendapat peran itu berkat eksistensinya di Pasar Klewer, yang boleh dibilang merupakan 'pusat sosialita' Solo masa itu. Selanjutnya, Budhe bermain di sejumlah film antara lain Samtidar (1972), serial Keluarga Berencana, dan film Djakarta 1966 (1987). Pada 1979, Budhe membintangi film Janur Kuning sebagai Ibu Tien Soeharto. Film tentang perjuangan Kolonel Soeharto ini wajib diputar di TVRI setiap 1 Maret selama 1980 sampai 1998. 
nuniek harun musawa surga menanti
Filmography Budhe tidak banyak, tapi hampir semua filmnya adalah garapan sutradara hebat dan ternama pada masanya. Djakarta 1966 disutradarai peraih Piala Citra, (Alm.) Arifin C. Noer, yang dikenal dengan film Taksi (1990) dan Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Sutradara Api di Bukit Menoreh, (Alm.) Djadoeg Djajakusuma adalah Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, yang juga pendiri Wayang Orang Bharata. Janur Kuning disutradarai Alam Rengga Surawidjaja, sineas yang pernah menjabat Dewan Film Nasional Indonesia, Dewan Produksi Film Indonesia dan Dewan Kesenian Jakarta 1973-1980.
nuniek harun musawa surga menanti

Senin, 02 November 2015

Nostalgia Menonton Tari di Lelangen Beksan Retno Maruti


Budhe bersama Bapak Sentot Sudiharto dan Ibu Retno Maruti
Sabtu sore (30/10), Budhe Nuniek bersemangat menonton pertunjukan tari Jawa klasik yang digelar kawan baiknya sejak lama, sang maestro Retno Maruti. Sangat bersemangat, sebab dulu Budhe juga aktif menari. Ibu Maruti bersama sanggar yang didirikannya hampir 40 tahun lalu, Padnecwara (baca: Padneswara), kali ini mempersembahkan karya bertajuk Lelangen Beksan. Acara diadakan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta.

Bersama Mbak Ruri (paling kiri), putri dari Ibu Retno Maruti, dan Mbak Nungki Kusumastuti 
Pertunjukan durasi hampir satu jam menampilkan empat tari Jawa gaya Surakarta, yakni Sekar Puri, Catur Sagatra, Eko Prawiro dan Satguretno. "Jadi teringat masa-masa menari dulu. Saat turun panggung itu hati rasanya senaaang banget, apalagi kalau tepukannya meriah," kenang Budhe.

Auditorium Galeri Indonesia Kaya cukup penuh, meski tidak sesak. Keempat tarian yang disuguhkan di atas panggung 13x13 meter, tampak memikat dan indah. Sebanyak 14 penari tampil diiringi sejumlah pengrawit memainkan gamelan dan seorang penembang. Mbak Maruti sendiri awet ayu berkebaya hijau, memainkan kepyak, menuntun tarian para penarinya.

Tari Satguretno karya Mbak Ruri

Budhe sudah mengenal Ibu Maruti sejak puluhan tahun lalu, di Kota Surakarta. Sama-sama asli Solo, dan Budhe pun sudah aktif menari sejak kecil. Di tahun 1971, Budhe bermain film Api di Bukit Menoreh (1971) bersama suami Ibu Maruti, Bapak Sentot Sudiharto.

Tinggal di Jakarta mulai 1972, Budhe Nuniek aktif menari di Taman Ismail Marzuki, bergabung dengan suami pertama Budhe, Almarhum S. Kardjono, sang maestro tari Klasik Yogyakarta. Pada 1980-an, Budhe juga bergabung di perkumpulan seni Ratna Budaya, pimpinan Ibu Mashuri, istri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1968-1973), yang selanjutnya menjadi Menteri Penerangan (1973-1977). Dalam perjalanannya, Budhe lebih sibuk di dunia usaha, yakni dengan bekerja di Majalah Femina dari 1973 hingga 1986, kemudian menjadi pengusaha dengan menerbitkan beberapa majalah, antara lain Aneka Yess! mulai 1990 hingga 2014. Kata Budhe, terakhir kali menari di depan publik saat di London pada 1982.

Dunia tari selalu ada di hati Budhe. Melihat Ibu Maruti ngepyak, Budhe juga teringat Ibunya, Sulastri Goenadi Prodjomuljono, yang seorang pengendang wanita Solo era 1960 hingga 1970-an. Sebelum menikah, Ibu Soelastri juga menari, tapi mengambil jalur amatir, bukan penari profesional.

Putri pertama Budhe, yakni Vivid Argarini, juga sempat belajar menari. Mbak Vivid masih tampil menari Jawa klasik Yogyakarta, antara lain saat di acara kampusnya di Amerika Serikat. Bahkan waktu Ibu Tutut Soeharto menyelenggarakan Faces of Indonesia di AS, Vivid diminta menari di beberapa kota. Adik Vivid, putri Budhe dengan suami keduanya, pengusaha penerbitan yang juga wartawan, Harun Musawa, yakni Syarifa Adiba Musawa, pada masa kecil hingga remajanya aktif belajar balet dan menari Bali.

Sukses terus untuk Ibu Maruti dan Sanggar Padnecwara. Usai penampilan di Galeri Indonesia Kaya, mereka ngebocorin akan ada ada pertunjukan spesial tahun depan, untuk merayakan ulang tahun Padnecwara yang ke-40. Terdekat, mereka akan menggelar pertunjukan di Yogyakarta pada 13 Desember mendatang.

Senangnya Memiliki Galeri Indonesia Kaya

Nikmatnya menonton pertunjukan juga tak lepas dari rasa senang, bahwa Indonesia khususnya Jakarta, punya Galeri Indonesia Kaya. Baik seniman maupun masyarakat, rasanya patut mengapresiasi galeri yang didirikan Bakti Budaya Djarum Foundation ini. Ada tempat bagi para seniman menampilkan karyanya, yang dibutuhkan pula oleh masyarakat.

Selamat Datang di "Cerita Budhe Nuniek"


“Cerita Budhe Nuniek” adalah kumpulan cerita kehidupan dan pemikiran Nuniek Harun Musawa, pendiri Majalah Remaja Aneka Yess! (1990-2014), yang dituturkan kepada saya, keponakannya. Belasan tahun lalu, -saat remaja belum menggenggam smartphone sebagai benda maha penting- media cetak, yakni majalah, mengisi keseharian mereka. Informasi gaya hidup, dunia fashion, pengetahuan, motivasi, serta sarana melambungkan mimpi, didapat melalui medium yang di era digital kini dianggap tradisional.

Budhe Nuniek memimpin Aneka Yess! hingga meraih oplaag terbesar saat itu, bahkan dibanding majalah-majalah lain beragam segmen. Meramu pengetahuan dengan motivasi, mengajak remaja berani bermimpi dan selalu percaya diri. Terbit dua minggu sekali dengan tebal 140 halaman, majalah ini disukai generasi 90-an.

Aneka Yess! mengalami masa terpaksa menolak permintaan agen yang ingin menambah pesanan. Dicetak di lima percetakan, karena dua atau tiga saja tak sanggup. Tidak ada istilah cetak ulang sebab dalam 14 hari, edisi berikutnya telah siap tersaji.

'Tangan besinya' dalam mengelola perusahaan, menciptakan suasana bekerja yang penuh inspirasi, sekaligus mengajak remaja Indonesia meraih impiannya. Sederet bintang dilahirkan dari panggung Aneka Yess! melalui kompetisi Coverboy, Covergirl dan Top Guest. Bersama itu semua, Budhe sendiri menjalani mimpinya. Mimpi bocah kampung Tipes, Surakarta, yang tak pernah meraih gelar sarjana.

Kini di tengah generasi milenial, semangat Budhe untuk berbagi pemikiran, prinsip hidup serta mimpi-mimpinya, tak terhenti. Selamat datang di "Cerita Budhe Nuniek".