Senin, 02 November 2015

Nostalgia Menonton Tari di Lelangen Beksan Retno Maruti


Budhe bersama Bapak Sentot Sudiharto dan Ibu Retno Maruti
Sabtu sore (30/10), Budhe Nuniek bersemangat menonton pertunjukan tari Jawa klasik yang digelar kawan baiknya sejak lama, sang maestro Retno Maruti. Sangat bersemangat, sebab dulu Budhe juga aktif menari. Ibu Maruti bersama sanggar yang didirikannya hampir 40 tahun lalu, Padnecwara (baca: Padneswara), kali ini mempersembahkan karya bertajuk Lelangen Beksan. Acara diadakan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta.

Bersama Mbak Ruri (paling kiri), putri dari Ibu Retno Maruti, dan Mbak Nungki Kusumastuti 
Pertunjukan durasi hampir satu jam menampilkan empat tari Jawa gaya Surakarta, yakni Sekar Puri, Catur Sagatra, Eko Prawiro dan Satguretno. "Jadi teringat masa-masa menari dulu. Saat turun panggung itu hati rasanya senaaang banget, apalagi kalau tepukannya meriah," kenang Budhe.

Auditorium Galeri Indonesia Kaya cukup penuh, meski tidak sesak. Keempat tarian yang disuguhkan di atas panggung 13x13 meter, tampak memikat dan indah. Sebanyak 14 penari tampil diiringi sejumlah pengrawit memainkan gamelan dan seorang penembang. Mbak Maruti sendiri awet ayu berkebaya hijau, memainkan kepyak, menuntun tarian para penarinya.

Tari Satguretno karya Mbak Ruri

Budhe sudah mengenal Ibu Maruti sejak puluhan tahun lalu, di Kota Surakarta. Sama-sama asli Solo, dan Budhe pun sudah aktif menari sejak kecil. Di tahun 1971, Budhe bermain film Api di Bukit Menoreh (1971) bersama suami Ibu Maruti, Bapak Sentot Sudiharto.

Tinggal di Jakarta mulai 1972, Budhe Nuniek aktif menari di Taman Ismail Marzuki, bergabung dengan suami pertama Budhe, Almarhum S. Kardjono, sang maestro tari Klasik Yogyakarta. Pada 1980-an, Budhe juga bergabung di perkumpulan seni Ratna Budaya, pimpinan Ibu Mashuri, istri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1968-1973), yang selanjutnya menjadi Menteri Penerangan (1973-1977). Dalam perjalanannya, Budhe lebih sibuk di dunia usaha, yakni dengan bekerja di Majalah Femina dari 1973 hingga 1986, kemudian menjadi pengusaha dengan menerbitkan beberapa majalah, antara lain Aneka Yess! mulai 1990 hingga 2014. Kata Budhe, terakhir kali menari di depan publik saat di London pada 1982.

Dunia tari selalu ada di hati Budhe. Melihat Ibu Maruti ngepyak, Budhe juga teringat Ibunya, Sulastri Goenadi Prodjomuljono, yang seorang pengendang wanita Solo era 1960 hingga 1970-an. Sebelum menikah, Ibu Soelastri juga menari, tapi mengambil jalur amatir, bukan penari profesional.

Putri pertama Budhe, yakni Vivid Argarini, juga sempat belajar menari. Mbak Vivid masih tampil menari Jawa klasik Yogyakarta, antara lain saat di acara kampusnya di Amerika Serikat. Bahkan waktu Ibu Tutut Soeharto menyelenggarakan Faces of Indonesia di AS, Vivid diminta menari di beberapa kota. Adik Vivid, putri Budhe dengan suami keduanya, pengusaha penerbitan yang juga wartawan, Harun Musawa, yakni Syarifa Adiba Musawa, pada masa kecil hingga remajanya aktif belajar balet dan menari Bali.

Sukses terus untuk Ibu Maruti dan Sanggar Padnecwara. Usai penampilan di Galeri Indonesia Kaya, mereka ngebocorin akan ada ada pertunjukan spesial tahun depan, untuk merayakan ulang tahun Padnecwara yang ke-40. Terdekat, mereka akan menggelar pertunjukan di Yogyakarta pada 13 Desember mendatang.

Senangnya Memiliki Galeri Indonesia Kaya

Nikmatnya menonton pertunjukan juga tak lepas dari rasa senang, bahwa Indonesia khususnya Jakarta, punya Galeri Indonesia Kaya. Baik seniman maupun masyarakat, rasanya patut mengapresiasi galeri yang didirikan Bakti Budaya Djarum Foundation ini. Ada tempat bagi para seniman menampilkan karyanya, yang dibutuhkan pula oleh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar