Minggu, 15 November 2015

Mengenang Senang dan Tragis di Tipes

nuniek harun musawa
Keluarga kakek-nenek Budhe Nuniek, yaitu pasangan  R. Nurdin Wiryosaputro dengan Raida Smith (putri Johan Nicholas Smith/Mbah Kanjeng) di rumah loji di Tipes, Kota Surakarta. Loji dengan pekarangan berhektare yang pada 1900an menjadi landmark Tipes. 
Tipes bukan nama penyakit akibat kecapekan dan kurang makan. Ini kampung halaman Budhe di Surakarta yang menyimpan banyak kisah senang dan pilu.

Budhe Nuniek sering bercerita tentang Tipes, kampung halamannya. Suatu daerah -kini merupakan kelurahan- di selatan barat Kota Surakarta. Namanya cukup aneh ya, Tipes. Konon diambil dari nama tanggul tak jauh dari situ, yakni di sepanjang Kali Jenes -sering juga disebut Jenis- yang terbentang dari Tipes di selatan barat Surakarta, Dawung-Demangan, Demangan-Sorogenen, hingga tepat sebelum kali itu bertemu Bengawan Solo. Tanggul itu dibangun pada masa kekuasaan Paku Buwono IX yaitu 1861–1893.

Kawasan Tipes pada masa dulu termasuk pinggiran. Tapi jika melihat sekarang dengan adanya Solo Baru yakni Kabupaten Sukoharjo, posisi Tipes menjadi tidak terlalu pinggir. Bisa dibilang tengah kota juga. Budhe mengagumi Surakarta sebagai kota baru -jika dibanding kota-kota tua di Eropa- yang penataannya mirip New York City. Ada dua jalan besar yang membentang dari barat ke timur, yakni Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Dr. Radjiman. Dua jalan itu kemudian dipotong-potong oleh beberapa ruas jalan dari utara ke selatan. Nah, terbentuklah blok-blok seperti di NYC, meski ya nggak secantik itu juga…

Jalan Dr. Radjiman sangat bersejarah. Tercatat, pecahnya Keraton Kartosuro pada 1745 membuat Sunan Paku Buwono II harus mencari lokasi baru untuk istana. Dipilih tempat baru di timur Surakarta, yakni Desa Sala. Inilah cikal bakal sebutan Kota Solo. Paku Buwono II dan seluruh abdi dalem berjalan kaki dari Keraton Kartosuro di barat, ke timur menyusuri Jalan Dr. Radjiman sepanjang 20 km, sampai di lokasi baru di tepi Bengawan Solo itu.

Kata Budhe, di antara rombongan yang berjalan itu mungkin salah satunya adalah leluhur dari Bapaknya, Goenadi Prodjomulyono. "Bapak adalah orang Surakarta asli, keturunan dari Keraton Surakarta," tutur Budhe.

Dilaluinya Jalan Dr. Radjiman sebagai rute kepindahan Pakubuwono II, membuat Belanda tak mau kalah. Mereka membangun tandingannya di utara, sejajar dengan Jalan Dr. Radjiman, yakni Jalan Slamet Riyadi yang kini menjadi jalan utama. Konon kabarnya, jalur itu dulunya adalah sungai, yang kemudian diurug oleh Belanda dijadikan jalan. Selain itu, pada 1779 Belanda juga membangun Benteng Vastenburg di utara Keraton Surakarta, tepatnya di samping Alun-alun. Dulu kabarnya, benteng yang semula bernama Grootmoedigheid itu didirikan untuk mengawasi aktivitas Keraton Surakarta sejak pemerintahan Paku Buwono III.

Bisa dibilang, saat itu adalah masa menancapnya bangunan-bangunan penting dan bersejarah di Solo. Termasuk Pura Mangkunegaran yang berdiri pada 1757. Perkampungan penduduk juga tumbuh sejalan dengan itu. Termasuk Tipes. Kelurahan Tipes kini luasnya sekitar 64 hektare, masuk dalam wilayah Kecamatan Serengan. Sudah sejak 1972 Budhe meninggalkan kampung itu, menetap di Jakarta hingga sekarang. Tapi hatinya tetap dekat dengan Tipes. Ada kebanggaan pada daerah ini sebab banyak kisah keluarga yang menyenangkan, dan ada pula cerita tragis.

Berburu di rumah

Budhe lahir di Tipes pada 1948. Letak rumahnya di jalan yang kini disebut Wijaya Kusuma. Puluhan tahun sebelumnya, kakek buyut Budhe dari ibu, Johan Nicholas Smith, sudah tinggal di kawasan itu. Sang buyut adalah pria berdarah Belanda, dipanggil anak keturunannya dengan sebutan Mbah Kanjeng. Oleh warga kampung disebut Kanjeng Tuan. Nenek buyut, Suwartinem -kerap dipanggil Mbah Ibu- adalah perempuan Jawa asli, anak pedagang sapi dari Boyolali.

Mbah Kanjeng tinggal di Tipes setelah sebelumnya menjabat sebagai Asisten Residen di Situbondo, Jawa Timur. Sejak pensiun, sang Kanjeng Londo ini memilih untuk mesanggrah di Solo. Konon ibu Mbah Kanjeng berasal dari kota ini.

“Pesanggrahan Mbah Kanjeng di Tipes sangat besar. Ada loji, dan sekitarnya tanah luas berhektare. Ada kandang kuda, pekarangan, kebun dengan pepohonan yang saking luasnya, bisa untuk berburu," cerita Budhe. Rumah itu terletak di pinggir sungai irigasi, yang kini disebut Jalan Bhayangkara. Mbah Kanjeng menatanya sedemikian rupa agar serasa tinggal di Eropa.

Bagi ibunda dari Budhe, Ibu Soelastri, rumah itu menyimpan banyak kenangan. Ibu Soelastri masih sangat kecil saat masa kehidupan Mbah Kanjeng di Tipes. Kanjeng Tuan hobi berburu di pekarangan lojinya yang luasnya berhektare. Dua kali seminggu mereka berburu. Biasanya tiap Rabu dan Sabtu. Mbah Kanjeng berkostum lengkap, bersama menantu dan penderek-pendereknya yang pribumi. Berburu sambil berkhayal seakan-akan menjadi ksatria di tanah Eropa. Soelastri kecil pun didandani ala lady Belanda yang hendak berkuda, menjadi penggembira kegiatan kakeknya.

Di masa itu, Tipes membanggakan dengan keberadaan kediaman Mbah Kanjeng yang megah. Loji yang berdiri di pekarangan luas seakan menjadi landmark. Sampai suatu hari, masa kejayaan itu berakhir. Saat Jepang masuk ke tanah Jawa, Mbah Kanjeng diinternir. Ketika sedang berada di Societeit Harmoni, klub orang-orang Belanda itu digerebek Jepang dan Mbah Kanjeng diculik begitu saja, diasingkan entah ke mana. Anak keturunannya tidak pernah melihatnya lagi hingga sekarang.

Sejak itu, berangsur-angsur tidak ada lagi rumah dengan pekarangan berhektare di Tipes. Mbah Ibu mengungsi agar tidak tertangkap sebagai istri keturunan Belanda. Harta bendanya diobrak-abrik, dijarah. Sebagian dijual. Kini loji Mbah Kanjeng masih berdiri tegak, namun tak lagi dengan pekarangan luas yang bisa untuk berburu. Melainkan dikelilingi kampung-kampung padat penduduk. Loji telah berganti kepemilikan dan saat ini digunakan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Terlihat untuk posko partai politik.

Cerita kejayaan itu hilang.

Emansipasi

Raida Smith, putri Mbah Kanjeng yang menurunkan Budhe, tetap tinggal di Tipes. Mereka mendapat rumah di Jalan Wijaya Kusuma, tak terlalu jauh dari loji Mbah Kanjeng dulu di JalanBhayangkara. Budhe Nuniek pun lahir di rumah itu. Mayoritas warga asli Tipes pada zaman Budhe kecil (1950-an) adalah pengusaha palen atau konveksi. Sebagian besar berdagang di Pasar Klewer, termasuk keluarga Budhe. Kampung Mbaron dan Kunden yang terletak di sebelah barat Tipes, kebanyakan juga pedagang konveksi.

Lebih ke barat lagi ada Laweyan, yang kini dikenal sebagai kampung batik. Sejak dulu memang kampungnya saudagar batik. "Dulu kebanyakan orang membeli kain di Laweyan, lalu menjahitkannya di Tipes," kata Budhe.

Perempuan-perempuan Solo, khususnya di kampung-kampung yang disebutkan tadi, sudah maju sejak dulu. Semua istri bekerja. Emansipasi dengan sendirinya tak terbicarakan. Sekalipun ibu rumah tangga pasti ada saja sambilan yang dikerjakan, biasanya jualan batik. Tidak ada istri yang hanya njagakke pemberian suami.

Tapi ada yang unik dari tipikal masyarakat Tipes. Pria yang sudah menikah biasanya tidak bekerja secara mandiri, melainkan membantu usaha istrinya. Misalnya kakek Budhe, R. Nurdin Wiryosaputro. Ia tidak bekerja sejak tinggal di Tipes. Sehari-hari ia bertugas mengendarai mobil Mbah Kanjeng, mengantar mertuanya itu bepergian. Padahal saat di Situbondo, sempat bekerja sebagai amtenar. 

"Begitu masuk komunitas Tipes, kayak sudah kena ‘airnya.’ Suami tidak bekerja itu biasa. Mereka mendorong usaha istri saja,” ujar Budhe.

Yang juga unik dari masyarakat Tipes, ada kepercayaan soal mencari jodoh. Orang asli Tipes harus menikah dengan warga kampung setempat. Kalau nyeleneh, kawinnya dengan kampung lain, entah kenapa pasti rumah tangganya kandas. “Dari saya kecil sampai besar, kulturnya orang Tipes ya menikahnya dengan situ- situ aja,” ucapnya.

Nah, untungnya keluarga Budhe termasuk pendatang. Ayahnya, Goenadi Prodjomulyono, berasal dari Kampung Nonongan, Kelurahan Kemlayan di Jalan Slamet Riyadi. Budhe menyebutnya Omah Lor, sebab letaknya di utara. Sedangkan rumah leluhur Ibunya yang ditinggalinya di Tipes berada di selatan. Jadi keluarga Budhe tidak tergolong Tipes asli yang harus mengikuti tradisi soal jodoh itu. Kalau termasuk, repot juga ya kalau jatuh cinta sama warga kampung/kota/negara lain, hehehe….

Sampai kini Budhe masih sesekali ke Tipes menengok rumah di Jalan Wijaya Kusuma, tempat ia dan sembilan adiknya tumbuh besar. Rumah itu kini dimiliki salah seorang adik Budhe, setelah saudara-saudara lainnya mendapat hak waris. Suasana kampung masih relatif sama seperti dulu. Meski sudah tidak lagi tinggal di sana, tujuh anak (tiga lainnya telah wafat) keluarga Goenadi Prodjomuljono dan Soelastri masih tetap dianggap tetangga setempat sebagai warga kampung.

Kenangan membanggakan dan menyedihkan itu tersimpan di Tipes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar