Tipes
bukan nama penyakit akibat kecapekan dan kurang makan. Ini kampung halaman
Budhe di Surakarta yang menyimpan banyak kisah senang dan pilu.
Budhe Nuniek sering bercerita tentang
Tipes, kampung halamannya. Suatu daerah -kini merupakan kelurahan- di selatan
barat Kota Surakarta. Namanya cukup aneh ya, Tipes. Konon diambil dari nama
tanggul tak jauh dari situ, yakni di sepanjang Kali Jenes -sering juga disebut
Jenis- yang terbentang dari Tipes di selatan barat Surakarta, Dawung-Demangan,
Demangan-Sorogenen, hingga tepat sebelum kali itu bertemu Bengawan Solo.
Tanggul itu dibangun pada masa kekuasaan Paku Buwono IX yaitu 1861–1893.
Kawasan Tipes pada masa dulu termasuk
pinggiran. Tapi jika melihat sekarang dengan adanya Solo Baru yakni Kabupaten
Sukoharjo, posisi Tipes menjadi tidak terlalu pinggir. Bisa dibilang tengah
kota juga. Budhe mengagumi Surakarta sebagai kota baru -jika dibanding
kota-kota tua di Eropa- yang penataannya mirip New York City. Ada dua jalan
besar yang membentang dari barat ke timur, yakni Jalan Slamet Riyadi dan Jalan
Dr. Radjiman. Dua jalan itu kemudian dipotong-potong oleh beberapa ruas jalan
dari utara ke selatan. Nah, terbentuklah blok-blok seperti di NYC, meski ya
nggak secantik itu juga…
Jalan Dr. Radjiman sangat bersejarah.
Tercatat, pecahnya Keraton Kartosuro pada 1745 membuat Sunan Paku Buwono II
harus mencari lokasi baru untuk istana. Dipilih tempat baru di timur Surakarta,
yakni Desa Sala. Inilah cikal bakal sebutan Kota Solo. Paku Buwono II dan
seluruh abdi dalem berjalan kaki dari Keraton Kartosuro di barat, ke timur menyusuri
Jalan Dr. Radjiman sepanjang 20 km, sampai di lokasi baru di tepi Bengawan Solo
itu.
Kata Budhe, di antara rombongan yang
berjalan itu mungkin salah satunya adalah leluhur dari Bapaknya, Goenadi
Prodjomulyono. "Bapak adalah orang Surakarta asli, keturunan dari Keraton
Surakarta," tutur Budhe.
Dilaluinya Jalan Dr. Radjiman sebagai
rute kepindahan Pakubuwono II, membuat Belanda tak mau kalah. Mereka membangun
tandingannya di utara, sejajar dengan Jalan Dr. Radjiman, yakni Jalan Slamet
Riyadi yang kini menjadi jalan utama. Konon kabarnya, jalur itu dulunya adalah sungai,
yang kemudian diurug oleh Belanda dijadikan jalan. Selain itu, pada 1779
Belanda juga membangun Benteng Vastenburg di utara Keraton Surakarta, tepatnya
di samping Alun-alun. Dulu kabarnya, benteng yang semula bernama
Grootmoedigheid itu didirikan untuk mengawasi aktivitas Keraton Surakarta sejak
pemerintahan Paku Buwono III.
Bisa dibilang, saat itu adalah masa
menancapnya bangunan-bangunan penting dan bersejarah di Solo. Termasuk Pura
Mangkunegaran yang berdiri pada 1757. Perkampungan penduduk juga tumbuh sejalan
dengan itu. Termasuk Tipes. Kelurahan Tipes kini luasnya sekitar 64 hektare,
masuk dalam wilayah Kecamatan Serengan. Sudah sejak 1972 Budhe meninggalkan
kampung itu, menetap di Jakarta hingga sekarang. Tapi hatinya tetap dekat
dengan Tipes. Ada kebanggaan pada daerah ini sebab banyak kisah keluarga yang menyenangkan,
dan ada pula cerita tragis.
Berburu
di rumah
Budhe lahir di Tipes pada 1948. Letak
rumahnya di jalan yang kini disebut Wijaya Kusuma. Puluhan tahun sebelumnya,
kakek buyut Budhe dari ibu, Johan Nicholas Smith, sudah tinggal di kawasan itu.
Sang buyut adalah pria berdarah Belanda, dipanggil anak keturunannya dengan
sebutan Mbah Kanjeng. Oleh warga kampung disebut Kanjeng Tuan. Nenek buyut, Suwartinem
-kerap dipanggil Mbah Ibu- adalah perempuan Jawa asli, anak pedagang sapi dari
Boyolali.
Mbah Kanjeng tinggal di Tipes setelah
sebelumnya menjabat sebagai Asisten Residen di Situbondo, Jawa Timur. Sejak
pensiun, sang Kanjeng Londo ini memilih untuk mesanggrah di Solo. Konon ibu
Mbah Kanjeng berasal dari kota ini.
“Pesanggrahan Mbah Kanjeng di Tipes
sangat besar. Ada loji, dan sekitarnya tanah luas berhektare. Ada kandang kuda,
pekarangan, kebun dengan pepohonan yang saking luasnya, bisa untuk
berburu," cerita Budhe. Rumah itu terletak di pinggir sungai irigasi, yang
kini disebut Jalan Bhayangkara. Mbah Kanjeng menatanya sedemikian rupa agar
serasa tinggal di Eropa.
Bagi ibunda dari Budhe, Ibu Soelastri,
rumah itu menyimpan banyak kenangan. Ibu Soelastri masih sangat kecil saat masa
kehidupan Mbah Kanjeng di Tipes. Kanjeng Tuan hobi berburu di pekarangan
lojinya yang luasnya berhektare. Dua kali seminggu mereka berburu. Biasanya
tiap Rabu dan Sabtu. Mbah Kanjeng berkostum lengkap, bersama menantu dan
penderek-pendereknya yang pribumi. Berburu sambil berkhayal seakan-akan menjadi
ksatria di tanah Eropa. Soelastri kecil pun didandani ala lady Belanda yang hendak berkuda, menjadi penggembira kegiatan
kakeknya.
Di masa itu, Tipes membanggakan dengan
keberadaan kediaman Mbah Kanjeng yang megah. Loji yang berdiri di pekarangan luas
seakan menjadi landmark. Sampai suatu
hari, masa kejayaan itu berakhir. Saat Jepang masuk ke tanah Jawa, Mbah Kanjeng
diinternir. Ketika sedang berada di Societeit Harmoni, klub orang-orang Belanda
itu digerebek Jepang dan Mbah Kanjeng diculik begitu saja, diasingkan entah ke
mana. Anak keturunannya tidak pernah melihatnya lagi hingga sekarang.
Sejak itu, berangsur-angsur tidak ada
lagi rumah dengan pekarangan berhektare di Tipes. Mbah Ibu mengungsi agar tidak
tertangkap sebagai istri keturunan Belanda. Harta bendanya diobrak-abrik,
dijarah. Sebagian dijual. Kini loji Mbah Kanjeng masih berdiri tegak, namun tak
lagi dengan pekarangan luas yang bisa untuk berburu. Melainkan dikelilingi
kampung-kampung padat penduduk. Loji telah berganti kepemilikan dan saat ini
digunakan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan
Maharani. Terlihat untuk posko partai politik.
Cerita kejayaan itu hilang.
Emansipasi
Raida Smith, putri Mbah Kanjeng yang
menurunkan Budhe, tetap tinggal di Tipes. Mereka mendapat rumah di Jalan Wijaya
Kusuma, tak terlalu jauh dari loji Mbah Kanjeng dulu di JalanBhayangkara. Budhe
Nuniek pun lahir di rumah itu. Mayoritas warga asli Tipes pada zaman Budhe
kecil (1950-an) adalah pengusaha palen atau konveksi. Sebagian besar berdagang
di Pasar Klewer, termasuk keluarga Budhe. Kampung Mbaron dan Kunden yang
terletak di sebelah barat Tipes, kebanyakan juga pedagang konveksi.
Lebih ke barat lagi ada Laweyan, yang
kini dikenal sebagai kampung batik. Sejak dulu memang kampungnya saudagar
batik. "Dulu kebanyakan orang membeli kain di Laweyan, lalu menjahitkannya
di Tipes," kata Budhe.
Perempuan-perempuan Solo, khususnya di
kampung-kampung yang disebutkan tadi, sudah maju sejak dulu. Semua istri
bekerja. Emansipasi dengan sendirinya tak terbicarakan. Sekalipun ibu rumah
tangga pasti ada saja sambilan yang dikerjakan, biasanya jualan batik. Tidak
ada istri yang hanya njagakke
pemberian suami.
Tapi ada yang unik dari tipikal
masyarakat Tipes. Pria yang sudah menikah biasanya tidak bekerja secara
mandiri, melainkan membantu usaha istrinya. Misalnya kakek Budhe, R. Nurdin Wiryosaputro.
Ia tidak bekerja sejak tinggal di Tipes. Sehari-hari ia bertugas mengendarai
mobil Mbah Kanjeng, mengantar mertuanya itu bepergian. Padahal saat di
Situbondo, sempat bekerja sebagai amtenar.
"Begitu masuk komunitas Tipes, kayak sudah kena ‘airnya.’ Suami tidak bekerja itu biasa. Mereka mendorong usaha istri saja,” ujar Budhe.
"Begitu masuk komunitas Tipes, kayak sudah kena ‘airnya.’ Suami tidak bekerja itu biasa. Mereka mendorong usaha istri saja,” ujar Budhe.
Yang juga unik dari masyarakat Tipes,
ada kepercayaan soal mencari jodoh. Orang asli Tipes harus menikah dengan warga
kampung setempat. Kalau nyeleneh,
kawinnya dengan kampung lain, entah kenapa pasti rumah tangganya kandas. “Dari
saya kecil sampai besar, kulturnya orang Tipes ya menikahnya dengan situ- situ
aja,” ucapnya.
Nah, untungnya keluarga Budhe termasuk
pendatang. Ayahnya, Goenadi Prodjomulyono, berasal dari Kampung Nonongan, Kelurahan Kemlayan di
Jalan Slamet Riyadi. Budhe menyebutnya Omah Lor, sebab letaknya di utara.
Sedangkan rumah leluhur Ibunya yang ditinggalinya di Tipes berada di selatan. Jadi
keluarga Budhe tidak tergolong Tipes asli yang harus mengikuti tradisi soal
jodoh itu. Kalau termasuk, repot juga ya kalau jatuh cinta sama warga
kampung/kota/negara lain, hehehe….
Sampai kini Budhe masih sesekali ke Tipes
menengok rumah di Jalan Wijaya Kusuma, tempat ia dan sembilan adiknya tumbuh
besar. Rumah itu kini dimiliki salah seorang adik Budhe, setelah
saudara-saudara lainnya mendapat hak waris. Suasana kampung masih relatif sama
seperti dulu. Meski sudah tidak lagi tinggal di sana, tujuh anak (tiga lainnya
telah wafat) keluarga Goenadi Prodjomuljono dan Soelastri masih tetap dianggap
tetangga setempat sebagai warga kampung.
Kenangan membanggakan dan menyedihkan
itu tersimpan di Tipes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar